INOVASI DAN STRATEGI USAHA BISNIS KOPERASI
Pada dasarnya terdapat keterkaitan antara posisi bersaing dengan
strategi bisnis, di mana setiap perusahaan menempati posisi bersaing yang
berbeda-beda. Untuk itu setiap perusahaan harus mengetahui posisi bersaing
masing-masing sehingga dapat menentukan strategi pemasaran yang tepat. Badan
Pusat statistik (BPS) menentukan karakteristik usaha mikro yaitu memiliki
jumlah tenaga kerja berkisar antara 1-4 orang dan usaha kecil memiliki tenaga
kerja berkisar antara 5-19 orang.
Fandy Tjiptono (2001) membagi posisi bersaing perusahaan dan
karakteristiknya sebagai berikut
Pertama, Pemimpin pasar (Market
leader) adalah yang memiliki pangsa pasar yang terbesar (40%) dalam
pasar produk yang relevan, lebih unggul dari perusahaan lain dalam hal
pengenalan produk baru, cakupan distribusi, dan intensitas promosi, dan
Merupakan pusat orientasi para pesaing (diserang, ditiru, atau dijauhi).
Kedua, Penantang pasar (Market
challenger) adalah yang memiliki pangsa pasar 30%, selalu berusaha
untuk mencari kelemahan pemimpin pasar dan menyerangnya baik secara langsung
maupun tidak langsung, memusatkan upaya mereka pada tindakan mengambil alih
perusahaan-perusahaan yang lemah.
Ketiga, Pengikut pasar (Market
follower) adalah pedagang yang selalu mencoba untuk menonjolkan ciri
khasnya kepada pasar sasaran seperti lokasi, pelayanan, keunggulan produk, dan
sebagainya, memilih untuk meniru produk atau strategi pemimpin pasar dan
penantang pasar daripada menyerang mereka, biasanya memperoleh laba yang tinggi
karena tidak menanggung beban pengeluaran yang besar untuk inovasi.
keempat, Perelung pasar (Market
nicher) pedagang yang biasanya berspesialisasi secara geografis,
merupakan perusahaan yang daya beli dan ukurannya cukup besar agar dapat
menguntungkan, memiliki potensi untuk berkembang.
Inovasi menjadi kunci keberhasilan untuk meningkatkan daya saing
bisnis (Shapiro 2002). Artinya, usaha kecil perlu melakukan inovasi agar dapat
mendesain organisasinya lebih fleksibel, yang memungkinkan beradaptasi terhadap
perubahan orientasi pasar. Kondisi itulah yang memungkinkan usaha kecil dapat
bersaing dengan usaha besar dan serbuan produk impor. Usaha kecil dapat dengan
mudah beradaptasi dengan merespon perubahan keinginan pelanggan, jalur
distribusi, dan kemampuan berinovasi (Feigenbaum & Karnani 1991).
Pengembangan Sektor UKM
Pengembangan terhadap sektor swasta merupakan suatu hal yang
tidak diragukan lagi perlu untuk dilakukan. UKM memiliki peran penting dalam
pengembangan usaha di Indonesia. UKM juga merupakan cikal bakal dari tumbuhnya
usaha besar. “Hampir semua usaha besar berawal dari UKM.
Satu hal yang perlu diingat dalam pengembangan UKM adalah bahwa
langkah ini tidak semata-mata merupakan langkah yang harus diambil oleh
Pemerintah dan hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah. Pihak UKM sendiri
sebagai pihak yang dikembangkan, dapat mengayunkan langkah bersama-sama dengan
Pemerintah. Selain Pemerintah dan UKM, peran dari sektor Perbankan juga sangat
penting terkait dengan segala hal mengenai pendanaan, terutama dari sisi
pemberian pinjaman atau penetapan kebijakan perbankan. Lebih jauh lagi, terkait
dengan ketersediaan dana atau modal, peran dari para investor baik itu dari
dalam maupun luar negeri, tidak dapat pula kita kesampingkan.
Pemerintah pada intinya memiliki kewajiban untuk turut
memecahkan tiga hal masalah klasik yang kerap kali menerpa UKM, yakni akses
pasar, modal, dan teknologi yang selama ini kerap menjadi pembicaraan di
seminar atau konferensi. Secara keseluruhan, terdapat beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam melakukan pengembangan terhadap unit usaha UKM, antara lain
kondisi kerja, promosi usaha baru, akses informasi, akses pembiayaan, akses
pasar, peningkatan kualitas produk dan SDM, ketersediaan layanan pengembangan
usaha, pengembangan cluster, jaringan bisnis, dan kompetisi.
Perlu disadari, UKM berada dalam suatu lingkungan yang kompleks
dan dinamis. Jadi, upaya mengembangkan UKM tidak banyak berarti bila tidak
mempertimbangkan pembangunan (khususnya ekonomi) lebih luas. Konsep pembangunan
yang dilaksanakan akan membentuk aturan main bagi pelaku usaha (termasuk UKM)
sehingga upaya pengembangan UKM tidak hanya bisa dilaksanakan secara parsial,
melainkan harus terintegrasi dengan pembangunan ekonomi nasional dan
dilaksanakan secara berkesinambungan. Kebijakan ekonomi (terutama pengembangan
dunia usaha) yang ditempuh selama ini belum menjadikan ikatan kuat bagi
terciptanya keterkaitan antara usaha besar dan UKM.
Saat ini, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah
berencana untuk menciptakan 20 juta usaha kecil menengah baru tahun 2020. Tahun
2020 adalah masa yang menjanjikan begitu banyak peluang karena di tahun
tersebut akan terwujud apa yang dimimpikan para pemimpin ASEAN yang tertuang dalam
Bali Concord II. Suatu komunitas ekonomi ASEAN, yang peredaran produk-produk
barang dan jasanya tidak lagi dibatasi batas negara, akan terwujud. Kondisi ini
membawa sisi positif sekaligus negatif bagi UKM. Menjadi positif apabila produk
dan jasa UKM mampu bersaing dengan produk dan jasa dari negara-negara ASEAN
lainnya, namun akan menjadi negatif apabila sebaliknya. Untuk itu, kiranya
penting bila pemerintah mendesain program yang jelas dan tepat sasaran serta
mencanangkan penciptaan 20 juta UKM sebagai program nasional.
Permasalahan yang Dihadapi UKM
Pada umumnya, permasalahan yang dihadapi oleh Usaha Kecil dan
Menengah (UKM), antara lain meliputi:
A. Faktor Internal
1. Kurangnya Permodalan dan Terbatasnya Akses Pembiayaan
Permodalan merupakan faktor utama yang diperlukan untuk
mengembangkan suatu unit usaha. Kurangnya permodalan UKM, oleh karena pada
umumnya usaha kecil dan menengah merupakan usaha perorangan atau perusahaan
yang sifatnya tertutup, yang mengandalkan modal dari si pemilik yang jumlahnya
sangat terbatas, sedangkan modal pinjaman dari bank atau lembaga keuangan
lainnya sulit diperoleh karena persyaratan secara administratif dan teknis yang
diminta oleh bank tidak dapat dipenuhi. Persyaratan yang menjadi hambatan
terbesar bagi UKM adalah adanya ketentuan mengenai agunan karena tidak semua
UKM memiliki harta yang memadai dan cukup untuk dijadikan agunan.
Terkait dengan hal ini, UKM juga menjumpai kesulitan dalam hal
akses terhadap sumber pembiayaan. Selama ini yang cukup familiar dengan mereka
adalah mekanisme pembiayaan yang disediakan oleh bank dimana disyaratkan adanya
agunan. Terhadap akses pembiayaan lainnya seperti investasi, sebagian besar
dari mereka belum memiliki akses untuk itu. Dari sisi investasi sendiri, masih
terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan apabila memang gerbang investasi
hendak dibuka untuk UKM, antara lain kebijakan, jangka waktu, pajak, peraturan,
perlakuan, hak atas tanah, infrastruktur, dan iklim usaha.
2. Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)
Sebagian besar usaha kecil tumbuh secara tradisional dan
merupakan usaha keluarga yang turun temurun. Keterbatasan kualitas SDM usaha
kecil baik dari segi pendidikan formal maupun pengetahuan dan keterampilannya
sangat berpengaruh terhadap manajemen pengelolaan usahanya, sehingga usaha
tersebut sulit untuk berkembang dengan optimal. Disamping itu dengan
keterbatasan kualitas SDM-nya, unit usaha tersebut relatif sulit untuk
mengadopsi perkembangan teknologi baru untuk meningkatkan daya saing produk
yang dihasilkannya.
1. Lemahnya Jaringan Usaha dan Kemampuan Penetrasi Pasar
Usaha kecil yang pada umumnya merupakan unit usaha keluarga,
mempunyai jaringan usaha yang sangat terbatas dan kemampuan penetrasi pasar
yang rendah, ditambah lagi produk yang dihasilkan jumlahnya sangat terbatas dan
mempunyai kualitas yang kurang kompetitif. Berbeda dengan usaha besar yang
telah mempunyai jaringan yang sudah solid serta didukung dengan teknologi yang
dapat menjangkau internasional dan promosi yang baik.
2. Mentalitas Pengusaha UKM
Hal penting yang seringkali pula terlupakan dalam setiap
pembahasan mengenai UKM, yaitu semangat entrepreneurship para pengusaha UKM itu
sendiri. Semangat yang dimaksud disini, antara lain kesediaan terus berinovasi,
ulet tanpa menyerah, mau berkorban serta semangat ingin mengambil risiko.
Suasana pedesaan yang menjadi latar belakang dari UKM seringkali memiliki andil
juga dalam membentuk kinerja. Sebagai contoh, ritme kerja UKM di daerah
berjalan dengan santai dan kurang aktif sehingga seringkali menjadi penyebab
hilangnya kesempatan-kesempatan yang ada.
3. Kurangnya Transparansi
Kurangnya transparansi antara generasi awal pembangun UKM
tersebut terhadap generasi selanjutnya. Banyak informasi dan jaringan yang
disembunyikan dan tidak diberitahukan kepada pihak yang selanjutnya menjalankan
usaha tersebut sehingga hal ini menimbulkan kesulitan bagi generasi penerus
dalam mengembangkan usahanya.
B. Faktor Eksternal
1. Iklim Usaha Belum Sepenuhnya Kondusif
Upaya pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dari tahun ke
tahun selalu dimonitor dan dievaluasi perkembangannya dalam hal kontribusinya
terhadap penciptaan produk domestik brutto (PDB), penyerapan tenaga kerja,
ekspor dan perkembangan pelaku usahanya serta keberadaan investasi usaha kecil
dan menengah melalui pembentukan modal tetap brutto (investasi). Keseluruhan
indikator ekonomi makro tersebut selalu dijadikan acuan dalam penyusunan
kebijakan pemberdayaan UKM serta menjadi indikator keberhasilan pelaksanaan
kebijakan yang telah dilaksanakan pada tahun sebelumnya.
Kebijaksanaan Pemerintah untuk menumbuhkembangkan UKM, meskipun
dari tahun ke tahun terus disempurnakan, namun dirasakan belum sepenuhnya
kondusif. Hal ini terlihat antara lain masih terjadinya persaingan yang kurang
sehat antara pengusaha-pengusaha kecil dan menengah dengan pengusaha-pengusaha
besar.
Kendala lain yang dihadapi oleh UKM adalah mendapatkan perijinan
untuk menjalankan usaha mereka. Keluhan yang seringkali terdengar mengenai
banyaknya prosedur yang harus diikuti dengan biaya yang tidak murah, ditambah
lagi dengan jangka waktu yang lama. Hal ini sedikit banyak terkait dengan
kebijakan perekonomian Pemerintah yang dinilai tidak memihak pihak kecil
seperti UKM tetapi lebih mengakomodir kepentingan dari para pengusaha besar.
2. Terbatasnya Sarana dan Prasarana Usaha
Kurangnya informasi yang berhubungan dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, menyebabkan sarana dan prasarana yang mereka miliki
juga tidak cepat berkembang dan kurang mendukung kemajuan usahanya sebagaimana
yang diharapkan. Selain itu, tak jarang UKM kesulitan dalam memperoleh tempat
untuk menjalankan usahanya yang disebabkan karena mahalnya harga sewa atau
tempat yang ada kurang strategis.
3. Pungutan Liar
Praktek pungutan tidak resmi atau lebih dikenal dengan pungutan
liar menjadi salah satu kendala juga bagi UKM karena menambah pengeluaran yang
tidak sedikit. Hal ini tidak hanya terjadi sekali namun dapat berulang kali
secara periodik, misalnya setiap minggu atau setiap bulan.
4. Implikasi Otonomi Daerah
Dengan berlakunya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004,
kewenangan daerah mempunyai otonomi untuk mengatur dan mengurus masyarakat
setempat. Perubahan sistem ini akan mempunyai implikasi terhadap pelaku bisnis
kecil dan menengah berupa pungutan-pungutan baru yang dikenakan pada UKM. Jika
kondisi ini tidak segera dibenahi maka akan menurunkan daya saing UKM.
Disamping itu, semangat kedaerahan yang berlebihan, kadang menciptakan kondisi
yang kurang menarik bagi pengusaha luar daerah untuk mengembangkan usahanya di
daerah tersebut.
5. Implikasi Perdagangan Bebas
Sebagaimana diketahui bahwa AFTA yang mulai berlaku Tahun 2003
dan APEC Tahun 2020 berimplikasi luas terhadap usaha kecil dan menengah untuk
bersaing dalam perdagangan bebas. Dalam hal ini, mau tidak mau UKM dituntut
untuk melakukan proses produksi dengan produktif dan efisien, serta dapat
menghasilkan produk yang sesuai dengan frekuensi pasar global dengan standar
kualitas seperti isu kualitas (ISO 9000), isu lingkungan (ISO 14.000), dan isu
Hak Asasi Manusia (HAM) serta isu ketenagakerjaan. Isu ini sering digunakan
secara tidak fair oleh negara maju sebagai hambatan (Non Tariff Barrier for
Trade). Untuk itu, UKM perlu mempersiapkan diri agar mampu bersaing baik secara
keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif.
6. Sifat Produk dengan Ketahanan Pendek
Sebagian besar produk industri kecil memiliki ciri atau
karakteristik sebagai produk-produk dan kerajinan-kerajian dengan ketahanan
yang pendek. Dengan kata lain, produk-produk yang dihasilkan UKM Indonesia
mudah rusak dan tidak tahan lama.
7. Terbatasnya Akses Pasar
Terbatasnya akses pasar akan menyebabkan produk yang dihasilkan
tidak dapat dipasarkan secara kompetitif baik di pasar nasional maupun
internasional.
8. Terbatasnya Akses Informasi
Selain akses pembiayaan, UKM juga menemui kesulitan dalam hal
akses terhadap informasi. Minimnya informasi yang diketahui oleh UKM, sedikit
banyak memberikan pengaruh terhadap kompetisi dari produk ataupun jasa dari
unit usaha UKM dengan produk lain dalam hal kualitas. Efek dari hal ini adalah
tidak mampunya produk dan jasa sebagai hasil dari UKM untuk menembus pasar
ekspor. Namun, di sisi lain, terdapat pula produk atau jasa yang berpotensial
untuk bertarung di pasar internasional karena tidak memiliki jalur ataupun
akses terhadap pasar tersebut, pada akhirnya hanya beredar di pasar domestik.
Langkah yang Sudah Ditempuh
Sesungguhnya pemerintah telah banyak mengeluarkan kebijakan
untuk pemberdayaan UKM, terutama lewat kredit bersubsidi dan bantuan teknis.
Kredit program untuk pengembangan UKM bahkan dilakukan sejak 1974. Kredit program
pertama UKM, Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen
(KMKP), yang menyediakan kredit investasi dan modal kerja permanen, dengan masa
pelunasan hingga 10 tahun, dan suku bunga bersubsidi.
Setelah deregulasi perbankan pada 1988, kredit UKM dengan bunga
bersubsidi secara berangsur dihentikan, diganti dengan kredit bank komersial.
Selain itu, donor internasional juga menyusun kredit program investasi bagi UKM
dalam mata uang rupiah. Antara 1990 dan 2000, Bank Indonesia mendanai berbagai
kredit program dengan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI), yang dapat
dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit
Pemilikan Rumah Sederhana/Sangat Sederhana (KPRS/SS), dan Kredit Usaha Kecil
dan Mikro yang disalurkan melalui koperasi dan bank perkreditan rakyat. Selain
itu, NPWP sebagai prasyarat pengajuan kredit di Perbankan juga telah
dihapuskan, dimana hal ini memberikan peluang dan kesempatan yang lebih besar
bagi kita untuk mengakses modal dari sisi perbankan.
Selain peran dari Pemerintah, dunia akademisi, lembaga swadaya
masyarakat, dan lembaga penelitian, juga telah melakukan beberapa kegiatan yang
bertujuan untuk mengembangkan UKM. Salah satu diantaranya adalah program
GTZ-RED yang diadakan atas dukungan GOPA/Swisscontact yang telah berjalan sejak
tahun 2003. Program ini bergerak langsung ke daerah-daerah dengan menggunakan
metode enabling environment dengan fokus pada Business Climate Survey (BCS) dan
Regulatory Impact Assessment (RIA) yang dilakukan oleh Technical Assisstance
(TA). Tim TA ini dimotori oleh Center for Micro and Small Enterprise Dynamics
(CEMSED) Universitas Satya Wacana. Tim ini telah melakukan survey, pelatihan,
workshop terhadap UKM di daerah-daerah, menciptakan jaringan dengan seluruh
pihak terkait UKM termasuk Pemerintah Daerah, serta membuat daftar Peraturan
Daerah yang perlu untuk diperbaiki.
Langkah yang Dapat Ditempuh
Dengan mencermati permasalahan yang dihadapi oleh UKM dan
langkah-langkah yang selama ini telah ditempuh, maka kedepannya, perlu
diupayakan hal-hal sebagai berikut:
1. Penciptaan Iklim Usaha yang Kondusif
Pemerintah perlu mengupayakan terciptanya iklim yang kondusif
antara lain dengan mengusahakan ketenteraman dan keamanan berusaha serta
penyederhanaan prosedur perijinan usaha, keringanan pajak dan sebagainya.
2. Bantuan Permodalan
Pemerintah perlu memperluas skema kredit khusus dengan
syarat-syarat yang tidak memberatkan bagi UKM, untuk membantu peningkatan
permodalannya, baik itu melalui sektor jasa finansial formal, sektor jasa
finansial informal, skema penjaminan, leasing dan dana modal ventura.
Pembiayaan untuk UKM sebaiknya menggunakan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang
ada maupun non bank. Lembaga Keuangan Mikro bank antara Lain: BRI unit Desa dan
Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Sampai saat ini, BRI memiliki sekitar 4.000 unit yang tersebar
diseluruh Indonesia. Dari kedua LKM ini sudah tercatat sebanyak 8.500 unit yang
melayani UKM. Untuk itu perlu mendorong pengembangan LKM agar dapat berjalan
dengan baik, karena selama ini LKM non koperasi memilki kesulitan dalam
legitimasi operasionalnya.
3. Perlindungan Usaha
Jenis-jenis usaha tertentu, terutama jenis usaha tradisional
yang merupakan usaha golongan ekonomi lemah, harus mendapatkan perlindungan
dari pemerintah, baik itu melalui undang-undang maupun peraturan pemerintah
yang bermuara kepada saling menguntungkan (win-win solution).
4. Pengembangan Kemitraan
Perlu dikembangkan kemitraan yang saling membantu antar UKM,
atau antara UKM dengan pengusaha besar di dalam negeri maupun di luar negeri,
untuk menghindarkan terjadinya monopoli dalam usaha. Selain itu, juga untuk
memperluas pangsa pasar dan pengelolaan bisnis yang lebih efisien. Dengan
demikian, UKM akan mempunyai kekuatan dalam bersaing dengan pelaku bisnis
lainnya, baik dari dalam maupun luar negeri.
5. Pelatihan
Pemerintah perlu meningkatkan pelatihan bagi UKM baik dalam
aspek kewiraswastaan, manajemen, administrasi dan pengetahuan serta
keterampilannya dalam pengembangan usahanya. Selain itu, juga perlu diberi
kesempatan untuk menerapkan hasil pelatihan di lapangan untuk mempraktekkan
teori melalui pengembangan kemitraan rintisan.
6. Membentuk Lembaga Khusus
Perlu dibangun suatu lembaga yang khusus bertanggung jawab dalam
mengkoordinasikan semua kegiatan yang berkaitan dengan upaya penumbuhkembangan
UKM dan juga berfungsi untuk mencari solusi dalam rangka mengatasi permasalahan
baik internal maupun eksternal yang dihadapi oleh UKM.
7. Memantapkan Asosiasi
Asosiasi yang telah ada perlu diperkuat, untuk meningkatkan
perannya antara lain dalam pengembangan jaringan informasi usaha yang sangat
dibutuhkan untuk pengembangan usaha bagi anggotanya.
8. Mengembangkan Promosi
Guna lebih mempercepat proses kemitraan antara UKM dengan usaha
besar diperlukan media khusus dalam upaya mempromosikan produk-produk yang
dihasilkan. Disamping itu, perlu juga diadakan talk show antara asosiasi dengan
mitra usahanya.
9. Mengembangkan Kerjasama yang Setara
Perlu adanya kerjasama atau koordinasi yang serasi antara
pemerintah dengan dunia usaha (UKM) untuk menginventarisir berbagai isu-isu
mutakhir yang terkait dengan perkembangan usaha.
10. Mengembangkan Sarana dan Prasarana
Perlu adanya pengalokasian tempat usaha bagi UKM di
tempat-tempat yang strategis sehingga dapat menambah potensi berkembang bagi
UKM tersebut.