Tata Kelola Perusahaan (bahasa Inggris: corporate governance) adalah rangkaian proses, kebiasaan, kebijakan, aturan, dan institusi yang memengaruhi pengarahan, pengelolaan, serta pengontrolan suatu perusahaan atau korporasi. Tata kelola perusahaan juga mencakup hubungan antara para pemangku kepentingan (stakeholder) yang terlibat serta tujuan pengelolaan perusahaan. Pihak-pihak utama dalam tata kelola perusahaan adalah pemegang saham, manajemen, dan dewan direksi. Pemangku kepentingan lainnya termasuk karyawan, pemasok, pelanggan, bank dan kreditor lain, regulator, lingkungan, serta masyarakat luas.
Tata kelola perusahaan adalah suatu subjek yang memiliki banyak aspek. Salah satu topik utama dalam tata kelola perusahaan adalah menyangkut masalah akuntabilitas dan tanggung jawab mandat, khususnya implementasi pedoman dan mekanisme untuk memastikan perilaku yang baik dan melindungi kepentingan pemegang saham. Fokus utama lain adalah efisiensi ekonomi yang menyatakan bahwa sistem tata kelola perusahaan harus ditujukan untuk mengoptimalisasi hasil ekonomi, dengan penekanan kuat pada kesejahteraan para pemegang saham. Ada pula sisi lain yang merupakan subjek dari tata kelola perusahaan, seperti sudut pandang pemangku kepentingan, yang menuntut perhatian dan akuntabilitas lebih terhadap pihak-pihak lain selain pemegang saham, misalnya karyawan atau lingkungan.
Perhatian terhadap praktik tata kelola perusahaan di perusahaan modern telah meningkat akhir-akhir ini, terutama sejak keruntuhan perusahaan-perusahaan besar AS seperti Enron Corporation dan Worldcom. Di Indonesia, perhatian pemerintah terhadap masalah ini diwujudkan dengan didirikannya Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) pada akhir tahun 2004.
Contoh
kasus dalam penyimpangan GCG :
JAKARTA—Masyarakat Telematika
Indonesia (Mastel) menilai terjadi pelanggaran Good Corporate Governance (GCG)
oleh Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) kala mengeluarkan (SE) No.
177/BRTI/2011 ke 10 operator telekomunikasi pada medio Oktober
2011.
SE tersebut berisikan himbauan
menghentikan penawaran konten melalui SMS broadcast, pop screen, atau voice
broadcast sampai dengan batas waktu yang akan ditentukan kemudian.
Analisis :
Layanan SMS premium ini tentunya
sudsh tidak asing lagi bagi kita, dan sudah tidak asing pula bahwa jasa ini
memberikan dampak yang sangat merugikan bagi pengguna telepon seluler. Kerugian
yang didapat tersebut adalah banyak sekali pelanggan yang pulsanya sering habis
oleh ulah para penyelenggara jasa SMS premium tersebut, walaupun pelanggan
sudah menghentikan layanan tersebut tetapi pulsa selalu saja di sedot oleh
pihak penyelenggara jasa tersebut. Hal ini tentu saja merugikan pelanggan yang
membuat keperluannya terhambat karena pulsa yang tiba-tiba habis di ambil oleh
penyelenggara jasa tersebut.
Namun dalam mengatasi hal tersebut
BRTI yang seharusnya menyelesaikan masalah ini kepada pihak penyelenggara jasa
tersebut bukan kepada operator. BRTI juga seharusnya lebih ketat dalam
pengawasan layanan tersebut agar tidak terjadi lagi peristiwa sedot pulsa.
Dalam kasus diatas juga sudah di jelaskan tentang pasal-pasal yang tidak
dilaksanakan sesuai kenyataan. Hal inilah yang membuat BRTI diduga menyimpang
dari Good Corporate Governance (GCG)“Kami melihat adanya
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh BRTI dengan keluarnya SE
tersebut,” ungkap Ketua Umum Mastel Setyanto P Santosa.
Menurutnya, penyimpangan terkait
dengan Instruksi Peningkatan Kualitas Layanan Jasa Pesan Premium. Menurut Pasal
8 KM No.36/PER/M/KOMINFO/ 10/2008, BRTI hanya dapat menuangkan produk
pengaturan yang sifatnya perintah dalam bentuk Keputusan Dirjen.
Berikutnya tentang indepedensi dan
profesionalitas dimana BRTI tidak mempertimbangkan secara seksama,
bahkan beberapa informasi yang seharusnya bersifat rahasia. BRTI justru
melibatkan pihak lain.BRTI tidak jelas dalam mendefinisikan hal-hal yang ingin
diaturnya, sehingga berdampak kepada bisnis dan cenderung dapat mematikan
bisnis penyedia konten
Hal lain adalah BRTI tidak melakukan
proses yang transparan kepada para pemangku kepentingan.
Para Penyelenggara Jasa Pesan
Premium yang paling terkena dampak dari penerbitan SE tersebut tidak dilibatkan
dalam pembahasan, termasuk dalam pembahasan revisi PM No. 1/2009 tentang
Penyelenggaraan Jasa Pesan Premium dan Pengiriman Jasa Pesan Singkat (SMS) ke
banyak tujuan. Penyelenggara Jasa Pesan Premium baru dilibatkan pada saat
proses evaluasi “Mastel berpendapat bahwa seharusnya SE BRTI tidak
langsung ditujukan kepada operator telekomunikasi melainkan disampaikan
terlebih dahulu kepada Penyelenggara Jasa Layanan Pesan Premium. Hal ini
berdasarkan Pasal 3 PM 01/2009, bahwa Jasa Pesan Premium diselenggarakan oleh
Penyelenggara Jasa Pesan Premium berdasarkan kerja sama dengan Penyelenggara
Jaringan jasa teleponi dasar,” katanya.
Terakhir terkait, Pasal 15 PM
01/2009 menyatakan bahwa pengguna berhak mengajukan ganti rugi kepada
Penyelenggara Pesan Premium, sedangkan dalam SE BRTI butir 4, tanggung
jawab dari Penyelenggara Pesan Premium tidak dinyatakan.
Ditegaskannya, kasus sedot pulsa
tidak akan terjadi jika ada pengawasan ketat dari BRTI. Hal ini karena
penyelenggaraan Jasa Pesan Premium diselenggarakan setelah mendapatkan izin
berupa pendaftaran penyelenggaraan kepada BRTI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar